Kamis, 20 Januari 2011

ALASAN KETIDAKHADIRAN ORANGTUA SI WANITA SAAT UPACARA PERKAWINAN

Setelah selesai acara peminangan puteri pertama saya, saya menyampaikan pesan kepada salon besan bahwa saya dan isteri tidak akan datang ke rumahnya pada saat upacara perkawinan anak-anak nanti. Ketidakhadiran kami itu saya sampaikan di hadapan anak dan calon menantu. Saat itu calon menantu saya bertanya, “Mengapa Bapak tidak tidak bisa hadir ?” Saya tidak menjawab. Anak saya yang memberi penjelasan bahwa ketidakhadiran saya dan isteri pada saat upacara perkawinan mereka karena memang adatnya dari dulu sudah begitu.


Mendengar jawaban yang sederhana itu saya menangkap kesan ada rasa ketidakmengertian di wajah calon menantu saya. Mungkin ia belum bisa menerima alasan yang disampaikan anak saya itu. Mungkin pula ia mempunyai pandangan, bahwa di saat seorang anak mengalami satu tonggak sejarah dalam hidupnya yaitu upacara perkawinan kehadiran mertua sangat diharapkan. Bukankah umumnya kehadiran dan terutama restu orang tua kedua belah pihak merupakan satu ciri dan satu inti dari upacara perkawinan ? Restu orang tua akan memberi kekuatan dan ketenangan batin bagi si pengantin dalam memasuki hidup baru

Saya memahami perasaan calon menantu saya. Di Bali, orang-orang mempunyai pandangan bahwa memang dipantangkan kehadiran orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan berlangsung di rumah pengantin pria. Adanya pantangan inilah yang belum diketahui oleh calon menantu saya, serta apa motif pantangan hadir di rumah menantu bagi orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan anaknya.

Ketidaktahuan tentang pantangan dan motif pantangan seperti tersebut di atas tidak hanya dialami oleh calon menantu saya saja. Bisa jadi anak-anak muda yang lain ada juga yang belum mengetahuinya. Bahkan ada orang tua yang secara jujur mengatakan bahwa ia tidak mengetahui adanya pantangan hadir di rumah menantu saat upacara perkawinan berlangsung. Ini menandakan landasan motivasi tentang pantangan tersebut masih perlu dimasyarakatkan agar anak-anak muda yang akan melangsungkan perkawinan mempunyai pemahaman dan tidak mempunyai pandangan yang negative atas ketidakhadiran mertua pada saat upacara perkawinan berlangsung. Juga para orang tua mempelai wanita tidak “salah melangkah” yang dapat berseberangan dengan opini masyarakat yang umumnya masih dipertahankan.

Adapun landasan pantangan kehadiran orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan berlangsung di rumah pengantin pria adalah landasan penetapan tata krama karena perbedaan derajat atau kedudukan antar mertua dan menantu dalam pertalian kekeluargaan yang baru. Kedudukan mertua tentu saja sejajar dengan orang tua. Sedangkan menantu adalah berderajat atau berkedudukan bawahan dari mertua dan orang tua.

Bagaimanakah sepantasnya cara berhubungan di saat awal antara menantu dengan mertua ? Inilah yang melahirkan pantangan tersebut. Jelasnya, pihak yang berkedudukan lebih rendahlah yang harus datang menghadap ke tempat pihak lain yang lebih tinggi. Si menantulah yang harus datang menghadap mertua. Waktu untuk itu memang disediakan, biasanya pada saat “mejauman”. Bila dilakukan sebaliknya maka akan “tulah/kualat” pengantin baru tersebut. Tindakan sumbang, apabila mertua mengunjungi atau mengiringkan menantu terlebih dahulu. Tindakan ini dinamakan “nyulubin pikang menantu” (arti bebasnya : menyeruak di bawah selangkangan menantu). Opini ini di masyarakat umumnya masih dipertahankan.

Upacara puncak perkawinan dilakukan di rumah pengantin pria. Orang tua pengantin pria selaku penyelenggara utama. Kedudukannya selaku penyelenggara utama telah dengan sendirinya merupakan perwujudan restunya terhadap perkawinan anaknya. Sedangkan mertua, walaupun pantang hadir, memberikan doa restu dari rumahnya supaya kedua mempelai tidak tulah/kualat.

Setelah puncak upacara perkawinan selesai, kedua mempelai dengan membawa sesajen (biasanya sesajen/upakara ketipat bantal atau jauman ) diantar oleh keluarga pihak pria datang ke rumah asal mempelai wanita untuk menghadap pertama kepada mertua serta memohon restunya. Termasuk bersembahyang kepada leluhur di Merajan mempelai wanita. Restu yang diberikan oleh mertua dapat diwujudkan pula dengan dibuatkan sesajen yang di”ayab” oleh kedua mempelai, diberikan seperangkat pakaian pesalin, makan saling suap, dan lain-lain menurut adat setempat.

Kesimpulannya, dalam perkawinan adat Bali soal restu orang tua merupakan unsur yang penting. Karena itu saat dan tata cara pemberiannya diatur menurut tata krama yang semestinya dengan tetap mempedomani mana yang “sor” (kedudukan lebih rendah) dan mana yang “singgih” (kedudukan lebih tinggi). Pihak yang kedudukannya lebih rendahlah (menantu) yang datang menghadap memohon restu kepada yang kedudukannya lebih tinggi (mertua), bukan sebaliknya.




Sumber : I Gusti Ketut Kaler, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali 1, Denpasar: CV. Kayumas Agung


Baca Selanjutnya......