Minggu, 23 April 2017

Potong Gigi Untuk Mengendalikan Sadripu

Mapandes/matatah/masangih (potong gigi) adalah salah satu upacara keagamaan yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu. Upacara mapandes/matatah/masangih (potong gigi) ini umumnya dilaksanakan oleh orang tua terhadap putra/putrinya yang telah mencapai cukup umur atau apabila ciri-ciri secara fisik sudah menginjak remaja. Pada wanita, ciri-ciri secara fisik sudah menginjak remaja adalah setelah mendapatkan menstruasi yang pertama, dan pada pria adalah setelah mengalami perubahan suara.

Mapandes/matatah/masangih (potong gigi) ini dilaksanakan oleh seorang mangku sangging yang memahat atau mengasah dengan menggunakan kikir sehingga menjadi rata dan rapi enam (6) buah gigi, yaitu empat (4) buah gigi seri dan dua (2) buah gigi taring bagian atas.
Upacara ini diyakini bermakna agar si anak (orang) yang  diupacarai dapat terlepas dari belenggu kegelapan karena pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia. Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat atau perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia, yaitu : Kama (sifat penuh nafsu indriya), Lobha (sifat loba atau serakah), Krodha (sifat kejam dan pemarah), Mada (sifat mabuk dan kegila-gilaan), Moha (sifat bingung dan angkuh), dan Matsarya (sifat dengki dan irihati).

Jadi, upacara mapandes/matatah/masangih (potong gigi) adalah upacara yang bertujuan untuk mengendalikan pengaruh sad ripu dalam diri si anak.  Juga, nantinya untuk dapat bertemu kembali dengan bapak dan ibu yang telah berujud suci, dan menghindari hukuman di dalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Batara Yamadipati berupa menggigit pangkal bambu petung. Tujuan lain adalah untuk memenuhi kewajiban orang tua kepada anak-anaknya agar menjadi manusia yang sejati.



Baca Selanjutnya......

Sabtu, 12 Juli 2014

Pancuran Tirta Sudamala

      Bagi masyarakat Bali yang senang melakukan kegiatan melukat (membersihkan diri secara niskala), pancuran Tirta Sudamala bisa dijadikan salah satu tempat untuk melukat. Pancuran Tirta Sudamala berada di tebing sebuah sungai yang termasuk wilayah Banjar Pekraman Sedit, Bebalang, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Indonesia.
         Untuk mencapai pancuran tersebut pengunjung dapat menggunakan kendaraan roda empat maupun kendaraan roda dua. Hanya saja kendaraan tersebut tidak bisa langsung sampai ke lokasi pancuran.  Pengunjung yang menggunakan kendaraan roda empat dapat memarkir kendaraannya di tempat parkir yang telah disediakan, kemudian  berjalan kaki menuruni jalan selebar 3 meter sejauh sekitar 300 meter. Kalau tidak mau jalan kaki, pengunjung dapat juga menggunakan jasa ojek. Sedangkan bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua dapat memarkir kendaraannya di luar areal pura Tirta Sudamala kemudian berjalan kaki sejauh sekitar 100 meter untuk bisa mencapai lokasi pancuran.     
      Kegiatan melukat dapat diawali dengan kegiatan persembahyangan di pelinggih (tempat pemujaan) yang ada di lokasi pancuran. Selesai sembahyang pengunjung disarankan untuk membersihkan diri (mandi) terlebih dahulu di air sungai yang jernih dilanjutkan dengan membersihkan diri di pancuran yang ada di pinggir sungai dan di air klebutan yang terletak disamping kanan pancuran.
     Apabila tahapan membersihkan diri di areal sungai telah selesai barulah dilanjutkan dengan membersihkan diri di pancuran yang letaknya di tebing sungai.  Ada sembilan pancuran setinggi 
sekitar empat meter, dan ada tiga lagi pancuran yang posisinya lebih rendah. Di pancuran ini pengunjung dapat membersihkan diri  mulai dari pancuran yang posisinya paling selatan (kanan) terus berurutan ke pancuran yang disebelah utara (kiri) sampai ke pancuran yang terakhir. Dan setelah selesai membersihkan diri di pancuran terakhir, pemangku (kalau ada) akan memerciki pengunjung dengan tirta yang telah disediakan. Oh ya, sekadar mengingatkan bagi pengunjung yang akan melukat agar menggunakan pakaian adat ringan dan tidak menggunakan sabun atau shampoo.
       Setelah proses pembersihan diri berakhir dan telah berganti pakaian bagi pengunjung yang mau bisa melanjutkan bersembahyang di Pura Tirta Sudamala yang berlokasi disamping kanan lokasi pancuran


Baca Selanjutnya......

Sabtu, 29 Maret 2014

Nyepi 2014

Baca Selanjutnya......

Senin, 11 Maret 2013

Nyepi 2013

Baca Selanjutnya......

Kamis, 22 Maret 2012

Nyepi




Baca Selanjutnya......

Selasa, 31 Januari 2012

Memperingati Hari Kelahiran

Tanggal 26 Januari 2012 yang lalu adalah hari Kamis Wage wuku Sungsang bertepatan dengan peringatan hari kelahiran pertama dari cucu pertama saya. Peringatan hari kelahiran cucu saya disebut dengan weton atau oton atau otonan. Dengan demikian cucu saya saat itu sudah berumur satu weton/oton.

Kata weton adalah berasal dari kata wetuan menjadi weton menjadi oton/otonan. Kata wetu berarti keluar atau lahir. Jadi upacara weton atau oton/otonan ialah peringatan hari kelahiran tepat pada pertemuan hari Sapta Wara, Panca Wara, dan Pawukon yang sama. Pertemuan hari Sapta Wara, Panca Wara, dan Pawukon yang sama akan datang setiap 6 (enam) bulan Bali/Jawa atau setiap 210 hari sekali.

Misalnya, cucu saya yang lahir pada hari Kamis Wage wuku Sungsang tanggal 30 Juni 2011 maka weton atau oton/otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap 6 (enam) bulan Bali/Jawa atau 210 hari sekali dengan mengabaikan tanggal dan bulan kelahiran menurut perhitungan tahun Masehi. Berbeda halnya dengan peringatan hari ulang tahun yang datang setahun sekali bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahiran menurut perhitungan tahun Masehi dengan mengabaikan hari kelahiran.

Bagi umat Hindu Bali hari kelahiran adalah salah satu hari yang tidak dilupakan. Oleh karenanya hari kelahiran yang disebut weton/oton/otonan diperingati atau dirayakan secara keagamaan dengan upakara yadnya. Apabila weton/oton/otonan seseorang dilaksanakan dengan upakara Yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan. Apabila upakaranya lebih besar dipimpin oleh Pemangku, dan apabila upakaranya tergolong utama akan dipimpin oleh Sulinggih (Pandita).

Ada hal yang unik pada saat pelaksanaan weton/oton/otonan. Selain mengantarkan doa-doa untuk orang yang punya weton/oton/otonan juga dilakukan pemberian simbol, yaitu simbol benang yang dilingkarkan di pergelangan tangan orang yang punya weton/oton/otonan. Makna simbolis dari gelang benang yang dilingkarkan di pergelangan tangan orang yang punya weton/oton/otonan tersebut adalah :

a. Benang memiliki konotasi “beneng” yang berarti lurus. Benang adalah salah satu alat yang sering dipakai membuat lurus sesuatu yang diukur. Jadi benang bermakna agar hati si pemakai (yang punya weton/oton/otonan)selalu ada di jalan yang lurus atau benar.

b. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus. Maknanya agar orang yang punya weton/oton/otonan mempunyai kelenturan hati sehingga tidak mudah patah semangat dalam mengarungi kehidupan.



Catatan :
Sapta Wara : perhitungan hari dalam seminggu yaitu: Minggu/Redite, Senin/Soma, Selasa/Anggara, Rabu/Buda, Kamis/Wraspati,Jumat/Sukra, Sabtu/Saniscara.
Panca Wara : hari pasaran ada 5 yaitu : Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon
Pawukon : berjumlah 30 wuku yang masing-masing berumur 7 hari mulai dari hari Minggu, yaitu : Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kelawu, Dukut, Watugunung



Baca Selanjutnya......

Sabtu, 21 Januari 2012

MAKNA RELIGIUS DAN SOSIAL DARI MEJAUMAN

Mejauman adalah nama suatu upacara yang merupakan bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Bali yang umumnya dilaksanakan setelah upacara pokok pengesahan perkawinan selesai. Mejauman merupakan upacara kunjungan resmi religius kedua mempelai dari rumah keluarga pihak laki-laki (purusa) ke rumah keluarga pihak perempuan (pradana). Nama lain dari mejauman adalah : ngaba jaja, ngaba ketipat bantal, atau ngunya.

Walaupun tidak akan merubah keabsahan perkawinan yang telah dilaksanakan mejauman tetap dipandang sebagai satu acara yang penting dan penuh arti. Oleh karena itu keluarga pihak laki-laki sangat mengusahakan agar upacara perkawinan anak laki-lakinya dapat dilengkapi dengan upacara mejauman. Dengan melaksanakan upacara mejauman nilai perkawinan secara keagamaan dan sosial dipandang akan menjadi lebih berbobot terutama di bidang pertalian kekerabatan antara keluarga asal pihak laki-laki dengan keluarga asal pihak perempuan. Disamping juga lebih memberi rasa tenang bagi kedua belah pihak.

Makna religius dari mejauman tampak dari kunjungan pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak perempuan yang dilengkapi dengan berbagai jenis sesajen yang akan dihaturkan di Pemerajan (tempat pemujaan keluarga) keluarga pihak perempuan. Sesajen yang dihaturkan di Pemerajan dengan diantar oleh rohaniawan dimaksudkan memohon pamitan mempelai perempuan kepada Bhatara/Bhatari leluhurnya, serta memohon perkenan dan restu para Bhatara/Bhatari leluhur, bahwa sejak saat itu si perempuan tidak lagi merupakan warga dalam rumah asalnya melainkan sudah menjadi warga dalam rumah keluarga suaminya. Begitu juga anak-anak yang akan dilahirkan nantinya bukanlah pelanjut warga rumah asalnya melainkan merupakan generasi penerus dalam keluarga suaminya.

Dalam aspek sosial mejauman merupakan permohonan pamitan mempelai perempuan kepada orang tua atau keluarganya. Dalam hal ini akan terdapat pemutusan ikatan antara si perempuan dengan orang tua atau keluarganya. Pemutusan ikatan dimaksud bukanlah pemutusan ikatan kasih sayang antara orang tua dengan anak melainkan pada pemutusan ikatan dalam segi perlindungan hukum orang tua (guru rupaka), perdata, pewarisan.

Bagi mempelai laki-laki sebagai suami baru mejauman merupakan saat baginya untuk memohon restu mertua bagi keselamatan mereka, serta mulai menerima tanggung jawab mengayomi isteri. Juga merupakan saat yang tepat bagi si laki-laki memperkenalkan diri kepada prajuru (aparatur) desa/banjar, mengikat tali kekerabatan baru dengan segenap keluarga si isteri.

Begitulah makna pokok dari upacara mejauman pada perkawinan adat Bali yang ada baiknya dipahami oleh mereka yang melangsungkan perkawinan.

Baca Selanjutnya......

Jumat, 03 Juni 2011

Pesiraman Pura Dalem Pingit Sebagai Tempat Melukat


Pesiraman Pura Dalem Pingit dan Pura Kusti adalah salah satu tempat yang dipercaya sebagai tempat melukat (membersihkan diri secara niskala). Pada hari-hari tertentu Pesiraman (permandian) Pura Dalem Pingit dan pura Kusti yang berlokasi di Banjar Sebatu Desa Sebatu Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar, Bali, Indonesia ini banyak dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melukat.


Saya sekeluarga bersama besan yang tinggal di Sulawesi Selatan dan kebetulan datang ke Bali berkesempatan mengunjungi pesiraman ini pada hari Minggu, 22 Mei 2011. Dengan kendaraan pribadi perjalanan dari Denpasar ke Sebatu ditempuh selama sekitar 1 jam 20 menit. Pukul 10 lewat 10 menit hujan gerimis menyambut kedatangan kami di tempat parkir. Pagi itu tampak kendaraan roda empat dan roda dua milik pengunjung hampir memenuhi halaman parkir yang tersedia.

Setelah istirahat beberapa menit, kami langsung menuju ke tempat pesiraman yang berjarak sekitar 250 meter. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki menuruni jalan setapak yang berkelok-kelok dan berundag-undag. Pada beberapa ruas jalan dipasangi pagar pengaman dari besi. Di bagian sisi kiri dan kanan jalan tumbuh pepohonan menambah sejuknya suasana pedesaan.

Sesampainya di pesiraman (permandian) pengunjung tidak langsung melukat. Ada tahapan yang sebaiknya diikuti oleh pengunjung. Memasuki area pesiraman, pengunjung akan melewati pelinggih (tempat pemujaan) pesiraman. Di hadapan Pelinggih (tempat pemujaan) pesiraman inilah sebaiknya terlebih dahulu pengunjung melakukan persembahyangan sebagai pemberitahuan akan melukat. Selesai sembahyang barulah pengunjung melanjutkan tahap kedua yaitu melukat di pesiraman. Pada saat melukat pengunjung dihimbau untuk menggunakan pakian adat. Karena lokasi melukat tidak terlalu lebar pada saat ramai maka pengunjung harus rela antre dan sabar menunggu giliran. Selesai melukat dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu melakukan persembahyangan di pelataran di depan pesiraman sebagai ungkapan rasa terimakasih.

Apabila ketiga tahapan tersebut telah dilaksanakan maka selesailah kegiatan melukat. Selanjutnya pengunjung bisa berganti pakaian atau langsung pulang. Bagi pengunjung yang ingin menikmati sejuknya alam sambil minum kopi, tidak perlu kuatir. Di sekitar lokasi pesiraman ada warung-warung yang melayani kebutuhan pengunjung.






Baca Selanjutnya......

Kamis, 20 Januari 2011

ALASAN KETIDAKHADIRAN ORANGTUA SI WANITA SAAT UPACARA PERKAWINAN

Setelah selesai acara peminangan puteri pertama saya, saya menyampaikan pesan kepada salon besan bahwa saya dan isteri tidak akan datang ke rumahnya pada saat upacara perkawinan anak-anak nanti. Ketidakhadiran kami itu saya sampaikan di hadapan anak dan calon menantu. Saat itu calon menantu saya bertanya, “Mengapa Bapak tidak tidak bisa hadir ?” Saya tidak menjawab. Anak saya yang memberi penjelasan bahwa ketidakhadiran saya dan isteri pada saat upacara perkawinan mereka karena memang adatnya dari dulu sudah begitu.


Mendengar jawaban yang sederhana itu saya menangkap kesan ada rasa ketidakmengertian di wajah calon menantu saya. Mungkin ia belum bisa menerima alasan yang disampaikan anak saya itu. Mungkin pula ia mempunyai pandangan, bahwa di saat seorang anak mengalami satu tonggak sejarah dalam hidupnya yaitu upacara perkawinan kehadiran mertua sangat diharapkan. Bukankah umumnya kehadiran dan terutama restu orang tua kedua belah pihak merupakan satu ciri dan satu inti dari upacara perkawinan ? Restu orang tua akan memberi kekuatan dan ketenangan batin bagi si pengantin dalam memasuki hidup baru

Saya memahami perasaan calon menantu saya. Di Bali, orang-orang mempunyai pandangan bahwa memang dipantangkan kehadiran orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan berlangsung di rumah pengantin pria. Adanya pantangan inilah yang belum diketahui oleh calon menantu saya, serta apa motif pantangan hadir di rumah menantu bagi orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan anaknya.

Ketidaktahuan tentang pantangan dan motif pantangan seperti tersebut di atas tidak hanya dialami oleh calon menantu saya saja. Bisa jadi anak-anak muda yang lain ada juga yang belum mengetahuinya. Bahkan ada orang tua yang secara jujur mengatakan bahwa ia tidak mengetahui adanya pantangan hadir di rumah menantu saat upacara perkawinan berlangsung. Ini menandakan landasan motivasi tentang pantangan tersebut masih perlu dimasyarakatkan agar anak-anak muda yang akan melangsungkan perkawinan mempunyai pemahaman dan tidak mempunyai pandangan yang negative atas ketidakhadiran mertua pada saat upacara perkawinan berlangsung. Juga para orang tua mempelai wanita tidak “salah melangkah” yang dapat berseberangan dengan opini masyarakat yang umumnya masih dipertahankan.

Adapun landasan pantangan kehadiran orang tua mempelai wanita di saat upacara perkawinan berlangsung di rumah pengantin pria adalah landasan penetapan tata krama karena perbedaan derajat atau kedudukan antar mertua dan menantu dalam pertalian kekeluargaan yang baru. Kedudukan mertua tentu saja sejajar dengan orang tua. Sedangkan menantu adalah berderajat atau berkedudukan bawahan dari mertua dan orang tua.

Bagaimanakah sepantasnya cara berhubungan di saat awal antara menantu dengan mertua ? Inilah yang melahirkan pantangan tersebut. Jelasnya, pihak yang berkedudukan lebih rendahlah yang harus datang menghadap ke tempat pihak lain yang lebih tinggi. Si menantulah yang harus datang menghadap mertua. Waktu untuk itu memang disediakan, biasanya pada saat “mejauman”. Bila dilakukan sebaliknya maka akan “tulah/kualat” pengantin baru tersebut. Tindakan sumbang, apabila mertua mengunjungi atau mengiringkan menantu terlebih dahulu. Tindakan ini dinamakan “nyulubin pikang menantu” (arti bebasnya : menyeruak di bawah selangkangan menantu). Opini ini di masyarakat umumnya masih dipertahankan.

Upacara puncak perkawinan dilakukan di rumah pengantin pria. Orang tua pengantin pria selaku penyelenggara utama. Kedudukannya selaku penyelenggara utama telah dengan sendirinya merupakan perwujudan restunya terhadap perkawinan anaknya. Sedangkan mertua, walaupun pantang hadir, memberikan doa restu dari rumahnya supaya kedua mempelai tidak tulah/kualat.

Setelah puncak upacara perkawinan selesai, kedua mempelai dengan membawa sesajen (biasanya sesajen/upakara ketipat bantal atau jauman ) diantar oleh keluarga pihak pria datang ke rumah asal mempelai wanita untuk menghadap pertama kepada mertua serta memohon restunya. Termasuk bersembahyang kepada leluhur di Merajan mempelai wanita. Restu yang diberikan oleh mertua dapat diwujudkan pula dengan dibuatkan sesajen yang di”ayab” oleh kedua mempelai, diberikan seperangkat pakaian pesalin, makan saling suap, dan lain-lain menurut adat setempat.

Kesimpulannya, dalam perkawinan adat Bali soal restu orang tua merupakan unsur yang penting. Karena itu saat dan tata cara pemberiannya diatur menurut tata krama yang semestinya dengan tetap mempedomani mana yang “sor” (kedudukan lebih rendah) dan mana yang “singgih” (kedudukan lebih tinggi). Pihak yang kedudukannya lebih rendahlah (menantu) yang datang menghadap memohon restu kepada yang kedudukannya lebih tinggi (mertua), bukan sebaliknya.




Sumber : I Gusti Ketut Kaler, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali 1, Denpasar: CV. Kayumas Agung


Baca Selanjutnya......