Sabtu, 12 Juni 2010

Makna Tebu Pada Saat Mejauman

Apabila Anda pernah ikut mengantar pengantin ke rumah pengantin perempuan saat mejauman pada perkawinan adat Bali, mungkin Anda akan melihat pohon tebu yang diikatkan pada kendaraan yang mengangkut kedua mempelai. Lalu apa makna pohon tebu tersebut ?


Setelah upacara awiwaha samkara (ngayab banten pekeraban) selesai umumnya akan dilanjutkan dengan upacara mejauman. Pada upacara mejauman pihak keluarga pengantin laki-laki mengantar kedua pengantin berkunjung ke rumah pengantin perempuan. Keluarga pihak pengantin laki-laki membawa bebanten (sesajen) untuk dipersembahkan ke hadapan roh leluhur pihak pengantin perempuan yang berstana di sanggah kemulannya (tempat pemujaan keluarga). Perlengkapan berupa bebanten (sesajen) itu disebut bebantenan jauman, yang berfungsi melaporkan kepada roh leluhur pihak pengantin perempuan bahwa sang pengantin perempuan telah pindah tempat tinggal dari keluarga pengantin perempuan ke keluarga pengantin pria.

Apabila rumah tempat tinggal pengantin perempuan cukup jauh dari rumah tempat tinggal pengantin laki-laki, saat mejauman biasanya keluarga pihak laki-laki menyiapkan kendaraan untuk mengangkut kedua pengantin, anggota keluarga maupun undangan yang akan ikut mengantar ke rumah pengantin wanita. Pada kendaraan yang mengangkut kedua mempelai diikatkan pohon tebu. Bisa jadi diantara pembaca, termasuk saya, ada yang bertanya-tanya apa makna kiasan atau simbul pohon tebu tersebut.

I Gusti Rai Partia, B.A. dalam bukunya Berbuat Benar Belum Tentu Baik menjelaskan makna pohon tebu dianalisis berdasarkan sifat-sifat yang ada pada pohon tebu. Sifat-sifat yang baik pada pohon tebu tersebut yang hendaknya dapat ditiru oleh pengantin baru yaitu :

Pertama, sifat pohon tebu itu adalah manis dari akar sampai dengan pucuknya. Walaupun sampai ke pucuk manisnya berkurang yang penting rasa manis tetap ada. Demikianlah hendaknya kedua pengantin itu hidup dalam suasana bermanis-manis (bermesra-mesraan) dari awal sampai akhir.

Kedua, pengantin laki-laki hendaknya jangan bersifat sebagai orang yang makan tebu, yaitu habis manis sepah dibuang.

Ketiga, tebu itu dapat hidup dalam segala iklim dari pantai sampai ke pegunungan. Maksudnya agar pengantin itu hidup rukun dalam suasana suka dan duka.

Keempat, sifat pohon tebu itu makin diperas makin bertambah manisnya. Maksudnya agar kebencian dibalas dengan kasih sayang dalam kehidupan bersuami istri. Kalau sang suami memarahi sang istri maka sang istri membalas dengan nada yang mampu melenyapkan kemarahan sang suami. Dengan demikian hidup rukun suami istri bisa tercapai.







5 komentar:

  1. hehehehe.... baru tiang paham. kaden tiang nak tebu nika wantah penghias kemanten. ternyata wenten makna ne. salam kenal gih! satungkara!!

    http://bliyanbelog.blogspot.com
    &
    http://bliyanbayem.blogspot.com

    BalasHapus
  2. @bliyanbelog : matur suksma bliyan sampun ledang ngewacen. Salam kenal mewali bliyan nggih, mogi2 semeton sami pade rahayu rahajeng.

    BalasHapus
  3. @wyan, suksma antuk artikelnyane, yening dados tyang nunas tyang jagi nunasang indik suaran kulkul, yening suaran kulkul banjar sane jagi parum sapunapi tetabuhan ipun ? apang kuda ketekannyane ( paling sedikt berapa kali pukulan ) ? ingih suksma.

    BalasHapus
    Balasan
    1. suksma mewali mangnada, ampura pisan titiang durung tatas ring induke punika.

      Hapus
    2. suksma mewali mangnada, ampura pisan titiang durung tatas ring induke punika.

      Hapus