Kamis, 22 Maret 2012

Nyepi




Baca Selanjutnya......

Selasa, 31 Januari 2012

Memperingati Hari Kelahiran

Tanggal 26 Januari 2012 yang lalu adalah hari Kamis Wage wuku Sungsang bertepatan dengan peringatan hari kelahiran pertama dari cucu pertama saya. Peringatan hari kelahiran cucu saya disebut dengan weton atau oton atau otonan. Dengan demikian cucu saya saat itu sudah berumur satu weton/oton.

Kata weton adalah berasal dari kata wetuan menjadi weton menjadi oton/otonan. Kata wetu berarti keluar atau lahir. Jadi upacara weton atau oton/otonan ialah peringatan hari kelahiran tepat pada pertemuan hari Sapta Wara, Panca Wara, dan Pawukon yang sama. Pertemuan hari Sapta Wara, Panca Wara, dan Pawukon yang sama akan datang setiap 6 (enam) bulan Bali/Jawa atau setiap 210 hari sekali.

Misalnya, cucu saya yang lahir pada hari Kamis Wage wuku Sungsang tanggal 30 Juni 2011 maka weton atau oton/otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap 6 (enam) bulan Bali/Jawa atau 210 hari sekali dengan mengabaikan tanggal dan bulan kelahiran menurut perhitungan tahun Masehi. Berbeda halnya dengan peringatan hari ulang tahun yang datang setahun sekali bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahiran menurut perhitungan tahun Masehi dengan mengabaikan hari kelahiran.

Bagi umat Hindu Bali hari kelahiran adalah salah satu hari yang tidak dilupakan. Oleh karenanya hari kelahiran yang disebut weton/oton/otonan diperingati atau dirayakan secara keagamaan dengan upakara yadnya. Apabila weton/oton/otonan seseorang dilaksanakan dengan upakara Yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan. Apabila upakaranya lebih besar dipimpin oleh Pemangku, dan apabila upakaranya tergolong utama akan dipimpin oleh Sulinggih (Pandita).

Ada hal yang unik pada saat pelaksanaan weton/oton/otonan. Selain mengantarkan doa-doa untuk orang yang punya weton/oton/otonan juga dilakukan pemberian simbol, yaitu simbol benang yang dilingkarkan di pergelangan tangan orang yang punya weton/oton/otonan. Makna simbolis dari gelang benang yang dilingkarkan di pergelangan tangan orang yang punya weton/oton/otonan tersebut adalah :

a. Benang memiliki konotasi “beneng” yang berarti lurus. Benang adalah salah satu alat yang sering dipakai membuat lurus sesuatu yang diukur. Jadi benang bermakna agar hati si pemakai (yang punya weton/oton/otonan)selalu ada di jalan yang lurus atau benar.

b. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus. Maknanya agar orang yang punya weton/oton/otonan mempunyai kelenturan hati sehingga tidak mudah patah semangat dalam mengarungi kehidupan.



Catatan :
Sapta Wara : perhitungan hari dalam seminggu yaitu: Minggu/Redite, Senin/Soma, Selasa/Anggara, Rabu/Buda, Kamis/Wraspati,Jumat/Sukra, Sabtu/Saniscara.
Panca Wara : hari pasaran ada 5 yaitu : Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon
Pawukon : berjumlah 30 wuku yang masing-masing berumur 7 hari mulai dari hari Minggu, yaitu : Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kelawu, Dukut, Watugunung



Baca Selanjutnya......

Sabtu, 21 Januari 2012

MAKNA RELIGIUS DAN SOSIAL DARI MEJAUMAN

Mejauman adalah nama suatu upacara yang merupakan bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Bali yang umumnya dilaksanakan setelah upacara pokok pengesahan perkawinan selesai. Mejauman merupakan upacara kunjungan resmi religius kedua mempelai dari rumah keluarga pihak laki-laki (purusa) ke rumah keluarga pihak perempuan (pradana). Nama lain dari mejauman adalah : ngaba jaja, ngaba ketipat bantal, atau ngunya.

Walaupun tidak akan merubah keabsahan perkawinan yang telah dilaksanakan mejauman tetap dipandang sebagai satu acara yang penting dan penuh arti. Oleh karena itu keluarga pihak laki-laki sangat mengusahakan agar upacara perkawinan anak laki-lakinya dapat dilengkapi dengan upacara mejauman. Dengan melaksanakan upacara mejauman nilai perkawinan secara keagamaan dan sosial dipandang akan menjadi lebih berbobot terutama di bidang pertalian kekerabatan antara keluarga asal pihak laki-laki dengan keluarga asal pihak perempuan. Disamping juga lebih memberi rasa tenang bagi kedua belah pihak.

Makna religius dari mejauman tampak dari kunjungan pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak perempuan yang dilengkapi dengan berbagai jenis sesajen yang akan dihaturkan di Pemerajan (tempat pemujaan keluarga) keluarga pihak perempuan. Sesajen yang dihaturkan di Pemerajan dengan diantar oleh rohaniawan dimaksudkan memohon pamitan mempelai perempuan kepada Bhatara/Bhatari leluhurnya, serta memohon perkenan dan restu para Bhatara/Bhatari leluhur, bahwa sejak saat itu si perempuan tidak lagi merupakan warga dalam rumah asalnya melainkan sudah menjadi warga dalam rumah keluarga suaminya. Begitu juga anak-anak yang akan dilahirkan nantinya bukanlah pelanjut warga rumah asalnya melainkan merupakan generasi penerus dalam keluarga suaminya.

Dalam aspek sosial mejauman merupakan permohonan pamitan mempelai perempuan kepada orang tua atau keluarganya. Dalam hal ini akan terdapat pemutusan ikatan antara si perempuan dengan orang tua atau keluarganya. Pemutusan ikatan dimaksud bukanlah pemutusan ikatan kasih sayang antara orang tua dengan anak melainkan pada pemutusan ikatan dalam segi perlindungan hukum orang tua (guru rupaka), perdata, pewarisan.

Bagi mempelai laki-laki sebagai suami baru mejauman merupakan saat baginya untuk memohon restu mertua bagi keselamatan mereka, serta mulai menerima tanggung jawab mengayomi isteri. Juga merupakan saat yang tepat bagi si laki-laki memperkenalkan diri kepada prajuru (aparatur) desa/banjar, mengikat tali kekerabatan baru dengan segenap keluarga si isteri.

Begitulah makna pokok dari upacara mejauman pada perkawinan adat Bali yang ada baiknya dipahami oleh mereka yang melangsungkan perkawinan.

Baca Selanjutnya......